Monday, October 24, 2011

HAWE DAN WOLLA


Seperti Sangihe memiliki Ungke dan Momo, Siau ada Aso dan Ndio, Minahasa punya Tole dan Keke begitu juga Talaud punya Hawe dan Wolla.  Orang luar (makna sindiran) memparodikan manusia mula-mula adalah Adam dan Hawe.
Upaya laten membuat klas-klas dalam stratifikasi antar wilayah memposisikan komunitas Talaud pada klas yang paling bawah.  Tidak bisa dipungkiri.  Ini lahir dari keberadaan kita sejak kita dikenal orang luar.  Kita (terima atau tidak) adalah orang-orang budak.  Yang dipekerjakan dengan upah rendah.  Ini melembaga walaupun orang-orang Talaud sudah lebih maju sekarang. 
Sangat sulit memang memposisikan diri kita ditengah komunitas yang meremehkan kita.  Tentunya perlu upaya untuk dapat merubah pola pendapat yang melembaga tersebut.
Sejak awal 1900 hubungan transportasi ke luar wilayah Talaud (hanya melalui laut) tidak ada.  Orang Talaud hidup dengan keterasingan.  Kadang-kadang datang pendatang dari luar dengan menggunakan Kapal untuk menampung hasil bumi.  Hawe dan Wolla belum banyak mengenal uang.  Sistem barter masih mendominasi kehidupan ekonomi komunitas Talaud.
Tahun 1952 Talaud secara resmi masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud.  Dibawah koordinasi Pembantu Bupati yang berkedudukan di Beo.  Semenjak saat itu masuklah kapal-kapal PELNI (Perintis) yang melayari perairan Talaud.
Hubungan transportasi ke Sangihe dan Manado, mulai terbuka.  Keinginan untuk merubah nasib dari Hawe dan Wolla mulai termotifasi.  Sentimen klas membuat orang Talaud ingin merubah nasib.  Banyak Hawe dan Wolla yang bagaikan eksodus berlayar mengadu nasib di Sangihe dan Manado.  Tanpa modal, tanpa keterampilan melangkahkan kaki menatap tantangan demi harga diri.
Karakter pekerja yang menempel dalam semangat orang Talaud membuat orang Talaud mudah mendapatkan pekerjaan di sangihe dan manado.  Orang-orang Talaud bekerja diperkebunan-pekerbunan milik orang belanda maupun orang pribumi.  Maka bertambahlah pemahaman terhadap orang Talaud bahwa orang Talaud adalah Budak.

Sampai sekitar tahun 1959 orang Talaud di perantauan tidak lebih dari pekerja kelas bawah.  Setelah itu kesadaran orang talaud akan penindasan harga diri makin menggunung.  Maka eksodus gelombang kedua terjadi pada tahun 1960.  Tujuan kali ini bukan lagi hanya sekedar mencari nafkah.  Melihat kesuksesan para majikan bahwa mereka (majikan) tersebut adalah orang-orang yang berpendidikan, maka munculah keinginan untuk menyekolahkan anak-anak orang Talaud.  Mereka datang ke Sangihe dan Manado, menjadi Tukang, Menjadi Pembantu rumah tangga.  Mereka yang bekerja pada saat itu tidak dapat menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk ditabung, sebab mereka memiliki tabungan yang sangat besar nilai infestasinya, yaitu pendidikan.

Walaupun banyak yang berpendirian untuk merubah kualitas manusia Talaud, tapi masih banyak juga yang tidak sampai berpikir ke situ.  Para pekerja yang masih muda yang masih ingin menikmati kesenangan sesaatnya, menggunakan kesempatan hasil pendapat mereka pada hal-hal yang ”tidak baik”.  Kurangnya pendidikan kebanyakan pemuda yang bekerja di Sangihe dan Manado terus menjerumuskan harga diri mereka.  Ironisnya merek bangga dengan predikat tersebut.  Menjadi peminum alkohol dengan mengandalkan ilmu-ilmu hitam menjadikan mereka lebih pada pencibiran yang mereka tidak sadari. 
Hawe menjadi ikon kebodohan dan kekerasan.  Walaupun Hawe yang lain dengan semangat dan cucuran keringat ingin mengangkat martabat orang Talaud.  Disini saya katakan ”orang Talaud”  karena komunitas Talaud telah mulai menunjukan jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang perlu dihargai.  Komunitas lebih pada kumpulan orang yang masih belum memiliki identitas diri yang lengkap.

Antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1970 mulai bermunculan orang-orang Talaud yang sukses.  Ada dibidang pelayaran, ada dibidang perdagangan, ada sebagai TNI dan POLRI, pada intinya selang waktu tersebut upaya suci dan tulus dari orang-orang Talaud telah melahirkan apa yang diharapkan walaupun belum seberapa. 

Semangat ini menjadi hukum domino.  Saling mendukung, saling menolong, saling memberi semangat menjadi jiwa semangat orang Talaud ”Saat itu”.  Saya katakan saat itu, karena memang itu yang terjadi.  Sekarang jiwa semangat tersebut telah menjadi sebuah jiwa yang telah hilang (jiwa yang hilang = Mati).  Saling menjatuhkan, saling melecehkan, saling mengadu dan saling memfitna menjadi warna kehidupan orang Talaud di jaman orang Talaud telah lebih pintar.

No comments:

Post a Comment