Sebelumnya injil masuk Talaud (1779), komunitas Talaud belum mengenal dirinya sendiri. Sistem budaya yang ada adalah budaya pertanian tradisional. Belum mengenal tulisan. Intinya budaya yang ada di komunitas Talaud masih sangat tradisional (kalau tidak dikatakan terbelakang) dibanding dengan Sangihe dan Siau.
Pada tahun 1859 saat Zending (Wilhem Richter 1815-1885) menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Beo, komunitas Talaud mulai diperkenalkan dengan pendidikan. Melalui Agama komunitas Talaud mulai berkembang.
Metode yang diterapkan oleh Zending untuk menyebarkan Agama adalah dengan Pendekatan Ba’e (cerita). Mengingat pada saat itu komunitas Talaud belum mengenal tulisan (kalaupun ada hanya pada lingkungan yang terbatas). Sejarah diwariskan lewat Ba’e (cerita). Ba’e merupakan budaya leluhur orang Talaud semenjak pulau-pulau Talaud dihuni.
Budaya ini terus dipertahankan sampai tahun 1900-san. Setelah itu -walaupun sudah ada yang mengenal tulisan- sejarah-sejarah masih di ceritakan (Ba’e) turun-temurun.
Dampak dari budaya Ba’e ini adalah terdapatnya perbedaan makna sejarah di setiap sentra budaya di wilayah yang berbeda. Perbedaan presepsi, perbedaan isi sudah menjadi sebuah momok yang tidak dapat dicari solusinya. Hal ini tanpa kita sadari akan terus terbawa sampai anak cucu kita.
Berbeda dengan Sangihe dan Siau, serta Tagulandang, semua sejarah tertulis dengan rapi dan sistematis. Sistem kerajaan dengan budaya seni yang tinggi, melahirkan beragamnya syair dan lirik lagu-lagu daerah. Lebih jauh lagi kerajaan-kerajaan besar lainnya di Nusantara, sejarahnya tertulis diatas prasasti, di daun lontar, lempengan-lempengan kayu, dan sebagainya. Artinya karena memang mereka telah memiliki budaya yang maju. Komunitas Talaud, juga memiliki lagu-lagu tradisional yang dianggap sebagai kekayaan budaya. Lagu-lagu Talaud lebih pada sebuah ungkapan perasaan yang di”lagu”kan, yang walaupun maknanya lebih mempunyai arti (tidak dibuat-buat) tetapi dari segi ilmu, lagu-lagu Talaud tidak dilahirkan dari pemahaman Ilmu seni suara maupun sastra. Lagu-lagu Talaud juga tidak pernah ditulis. Hanya dilagukan turun temurun. Begitu juga dengan seni tari semua diturunkan lewat Ba’e.
”Slak Bom” (pedigree) yang menurut komunitas Talaud merupakan sebuah dokumentasi (tertulis) sejarah kekerabatan, ada sejak komunitas Talaud mengenal tulisan. ”Slak Bom” ada sekitar 1900-san sejak wilayah Talaud telah mulai membuka akses komunikasi lewat pejabat-pejabat lokal (Pres. Jog. Julius Sario Tamawiwy 1912). Sebuah bukti sejarah tertulis dalam sestem budaya Talaud hanyalah ”Slak Bom” yang selalu dipergunakan saat ada upacara perkawinan. Hal ini dipertahankan karena menurut budaya komunitas Talaud bahwa hubungan kekerabatan dalam perkawinan (makin jauh makin baik) sangat berpengaruh terhadap kualitas keturunan.
Masih banyak lagi budaya Talaud yang lahir dari sebuah kebiasaan yang melembaga dalam sistem kehidupan sosial, ekonomi komunitas Talaud yang kesemuanya di ”Ba’e” kan.
Budaya ba’e sangat rentan terhadap distorsi makna dan isi nilai sejarah. Tapi itu merupakan kebudayaan kita. Yang dijadikan sebagai ungkapan jati diri komunitas Talaud.
Ba’e juga melahirkan perbedaan, primordialisme wilayah dan primordialisme keturunan.
Lahir pemahaman yang tidak dapat dibantah oleh pihak lain yang mempunyai pemahaman lain yang menurutnya adalah warisan cerita dari leluhurnya. Embrio perpecahan bermula dari sini. Sampai sekarang komunitas Talaud sangat mudah dipecah belah. Sebagai generasi muda kita waib menjadikan ini sebagai nilai positif dengan menyadari dan memahami arti perbedaan itu sendiri. Sebab berbeda itu justru menjadikan kita kaya. Kaya akan pemahaman nilai luhur budaya kita. Menjadikan kita memilki banyak referensi, dan melatih kita dalam menyikapi perbedaan.
No comments:
Post a Comment