Apa itu ”manajemen Sansiotte sampate-pate”. Artinya bagaimana kita mengatur, menata, melakukan, dan mempertahankan budaya Sansiotte Sampate-Pate. Kultur sosial kita orang Talaud adalah mengandalkan hati nurani, mengutamakan kehidupan yang religius, dan terus berpegang pada tongkat ”ana u wanua”.
Kultur sosial kita amburadul. Saling curiga, saling menjungkal, dan saling fitnah. Kenapa kita terjerumus dalam jurang kehancuran? Kita lahir sebagai sebuah daerah yang cacat. Awal pemerintahan kita sudah diwarnai dengan kontrofersial yang dalam. Kita sudah memulai dengan langkah awal yang salah. Tetapi justru kita terus melangkah angkuh di atas kerikil kepunahan kultural orang Talaud.
Benih perpecahan sengaja dibangun dengan ketidakadilan. Didalam keluarga, ketidakadilan pasti akan menimbulkan konflik antar kakak beradik. Data base tenaga honorer disulap, dijadikan jaminan bagi siapa yang bersedia dipasangkan ”tali hidung”. Yang tidak pernah bekerja (honor) mendapat SK honor, mereka seakan berteriak ”Kami bisa!. Berebutan...!!! memanfaatkan peluang ini membuat ketidak adilan bagi sebagian orang yang tidak mau seperti itu. Konflik bukan lagi pada siapa yang memberikan peluang itu, tetapi sudah pada yang mengambil peluang dan yang tidak mengambil peluang. Mereka itu adalah saudara.
Gereja disusupi dengan kepentingan, kehidupan religius tidak normal lagi. Kelompok-kelompok kepentingan lahir di segala lini kehidupan bergereja. Kembali, rasa curiga menyertai setiap kegiatan bergereja. Ini bukanlah wujud rasa cemburu akan keberadaan sekelompok orang yang dengan mudah mendapat fasilitas semu. Tetapi lebih pada bagaimana menerapkan dan mempertahankan ”manajemen Sansiotte Sampate-Pate”
Entah sadar atau tidak kita malah terus berjalan, bahkan berlari meniggalkan semua yang tertinggal dibelakang kita. Apakah itu nurani, kewibawaan, dan harga diri. Kita terus mau dijerembab dalam jurang perpecahan. Karena disitulah kita menjadi lemah. Ketika kita lemah maka kita akan dengan relah bahkan dengan menyembah akan meng-ia-kan segalah bentuk permaslahatan yang terjadi. Kita rela menjungkalkan saudara kita, kita relah meludahi saudara kita, bahkan kita rela membuang saudara kita. Kesemuanya itu tidak ada dalam ”Manajemen Sansiotte Sampate-Pate”.
Banyak keluarga orang Talaud yang sukses menerapkan ”Manajemen Sansiotte Sampate-Pate”. Bagaikan arisan pendidikan, bergiliran menyekolahkan anak, saudara, sepupu, keponakan, dan bahkan saudara jauh. Dengan kesederhanaan bersama makan dalam piring yang sama dengan lauk yang diransum, menantikan kiriman umbi dari kampung yang terbungkus dalam karung dan keranjang (bika) yang sama. Pakaian digilir, sepatu dijadwal. Kesemuanya menggambarkan kebersamaan yang merupakan platform ”Manajemen Sansiotte Sampate-Pate”
Mungkin itu karena di rantau. Tidak juga! Karena itu memang prinsip kita orang Talaud. Orang Talaud di rantau sangat menyayangkan keadaan yang ada sekarang di Talaud yang tidak lagi ”Porodisa”. Tetapi mereka tidak punya daya. Mereka hanya menatap dari kejauhan, takut. Miris dengan keadaan itu membuat mereka tidak berkeinginan untuk kembali ke Talaud. Saya (penulis) tidak menyalahkan mereka, tetapi sumbangan pemikiran, sumbangan moril akan membuat kita lebih terhibur bahkan lebih kuat menghadapi proses ”pembusukan”. ”Pembusukan” datang berikut sesudah ”kematian”. Artinya kita telah mati dari nailai-nilai ”Manajemen Sansiotte Sampate-Pate”. Sesuatu membuat saya sedikit terhibur. Ternyata kita masih meninggalkan benih-benih generasi berikut yang perlu kita jaga, kita bentuk kembali sehingga mampu berdiri pada kultur sosial orang Talaud, yang dahulu hamba, kini hamba, kedepan menjadi tuan ditanah sendiri.
Generasi kita telah dicemari dengan kepentingan perpecahan yang sangat kompleks. Perlu ada generasi yang ”dikorbankan”. Bentuk pengorbanan itu adalah dengan terus berjuang melawan kebatilan. Tentu dengan konsekuensi non-job dan pemutasian. ”Pembunuhan” karakter, pengungkungan kreatifitas, dan semua yang kita anggap berguna bagi ”Porodisa” yang lahir dari diri kita sendiri harus kita korbankan. Kita harus rela dikurung dalam ”penjara humanitas” kepalsuan. Biarlah kita tidak berkarya karena kita diikat, tetapi kita harus kembali berjalan mundur, mendidik generasi berikut akan manisnya ”sosio-kultur” orang Talaud. Seperti yang diajarkan oleh mereka (pahlawan sebenarnya) di tahun 50-an orang-orang yang tidak mengenal lelah, dengan kesederhanaan membiayai pendidikan kita.
Ketika orang kecil menerima tamunya yang adalah orang besar, maka ia akan menyediakan tempat milkinya yang paling baik, dengan makanan yang paling istimewa semampunya. Tetapi ketika orang besar menerima tamu orang kecil, maka ia akan menempatkan pada tempat yang paling kumuh dirumahnya, dengan makanan paling murah.
Sapaan pertama orang kecil adalah ”mari makan”, tetapi sapaan orang besar ”sudah makan?” tentunya orang yang ditanya akan malu jika menjawab ”belum”.
Bagi bukan orang Talaud, kita orang Talaud adalah orang kecil, yang juga dengan alasan ”sentimen historis” memposisikan orang Talaud pada komunitas kelas tiga (baca Adam dan Hawe).
Seperti kata mereka ”makanya... jangan berseberangan” jangan ”menentang arus sungai” oke-lah... misalnya saya dan seluruh orang Talaud sepaham dengan penguasa sekarang. Maka kita akan hidup dalam susana yang tidak lagi saling ”menohok” karena kita semua mendapat bagian, karena kita semua mendapat jatah, karena kita semua dibuai dengan kemudahan. Tetapi apakah kemudian itu menjadikan kita tertidur lelap dari tanggung jawab leluhur, menjadikan Talaud sebagai ”porodisa”. Kemudian apakah kita akan terus menjadi budak dahulu, kini, dan akan datang. Tragis memang...
Talaud yang tidak lagi "PORODISA"...Kata kunci dari semua yang ada di atas.....heheehhe.Mantab mmg qt p abang ini....."JANGAN BUNGKAM SUARA KRITIS"
ReplyDelete