Tuesday, October 25, 2011

AMBRUKNYA MANAJEMEN SANSIOTTE SAMPATE PATE


Apa itu ”manajemen Sansiotte sampate-pate”.  Artinya bagaimana kita mengatur, menata, melakukan, dan mempertahankan budaya Sansiotte Sampate-Pate.  Kultur sosial kita orang Talaud adalah mengandalkan hati nurani, mengutamakan kehidupan yang religius, dan terus berpegang pada tongkat ”ana u wanua”.

Kultur sosial kita amburadul. Saling curiga, saling menjungkal, dan saling fitnah.  Kenapa kita terjerumus dalam jurang kehancuran?  Kita lahir sebagai sebuah daerah yang cacat.  Awal pemerintahan kita sudah diwarnai dengan kontrofersial yang dalam.  Kita sudah memulai dengan langkah awal yang salah.  Tetapi justru kita terus melangkah angkuh di atas kerikil kepunahan kultural orang Talaud.

Benih perpecahan sengaja dibangun dengan ketidakadilan.  Didalam keluarga, ketidakadilan pasti akan menimbulkan konflik antar kakak beradik.  Data base tenaga honorer disulap, dijadikan jaminan bagi siapa yang bersedia dipasangkan ”tali hidung”.  Yang tidak pernah bekerja (honor) mendapat SK honor, mereka seakan berteriak ”Kami bisa!. Berebutan...!!! memanfaatkan peluang ini membuat ketidak adilan bagi sebagian orang yang tidak mau seperti itu.  Konflik bukan lagi pada siapa yang memberikan peluang itu, tetapi sudah pada yang mengambil peluang dan yang tidak mengambil peluang.  Mereka itu adalah saudara.

Gereja disusupi dengan kepentingan, kehidupan religius tidak normal lagi.  Kelompok-kelompok kepentingan lahir di segala lini kehidupan bergereja.  Kembali, rasa curiga menyertai setiap kegiatan bergereja.  Ini bukanlah wujud rasa cemburu akan keberadaan sekelompok orang yang dengan mudah mendapat fasilitas semu.  Tetapi lebih pada bagaimana menerapkan dan mempertahankan ”manajemen Sansiotte Sampate-Pate”

Entah sadar atau tidak kita malah terus berjalan, bahkan berlari meniggalkan semua yang tertinggal dibelakang kita.  Apakah itu nurani, kewibawaan, dan harga diri.  Kita terus mau dijerembab dalam jurang perpecahan.  Karena disitulah kita menjadi lemah.  Ketika kita lemah maka kita akan dengan relah bahkan dengan menyembah akan meng-ia-kan segalah bentuk permaslahatan yang terjadi.  Kita rela menjungkalkan saudara kita, kita relah meludahi saudara kita, bahkan kita rela membuang saudara kita.  Kesemuanya itu tidak ada dalam ”Manajemen Sansiotte Sampate-Pate”.

Banyak keluarga orang Talaud yang sukses menerapkan ”Manajemen Sansiotte Sampate-Pate”.  Bagaikan arisan pendidikan, bergiliran menyekolahkan anak, saudara, sepupu, keponakan, dan bahkan saudara jauh.  Dengan kesederhanaan bersama makan dalam piring yang sama dengan lauk yang diransum,  menantikan kiriman umbi dari kampung yang terbungkus dalam karung dan keranjang (bika) yang sama.  Pakaian digilir, sepatu dijadwal.  Kesemuanya menggambarkan kebersamaan yang merupakan platform ”Manajemen Sansiotte Sampate-Pate”

Mungkin itu karena di rantau. Tidak juga! Karena itu memang prinsip kita orang Talaud.  Orang Talaud di rantau sangat menyayangkan keadaan yang ada sekarang di Talaud yang tidak lagi ”Porodisa”.  Tetapi mereka tidak punya daya.  Mereka hanya menatap dari kejauhan, takut.  Miris dengan keadaan itu membuat mereka tidak berkeinginan untuk kembali ke Talaud.  Saya (penulis) tidak menyalahkan mereka, tetapi sumbangan pemikiran, sumbangan moril akan membuat kita lebih terhibur bahkan lebih kuat menghadapi proses ”pembusukan”.  ”Pembusukan” datang berikut sesudah ”kematian”.  Artinya kita telah mati dari nailai-nilai ”Manajemen Sansiotte Sampate-Pate”.  Sesuatu membuat saya sedikit terhibur.  Ternyata kita masih meninggalkan benih-benih generasi berikut yang perlu kita jaga, kita bentuk kembali sehingga mampu berdiri pada kultur sosial orang Talaud, yang dahulu hamba, kini hamba, kedepan menjadi tuan ditanah sendiri. 

Generasi kita telah dicemari dengan kepentingan perpecahan yang sangat kompleks.  Perlu ada generasi yang ”dikorbankan”.  Bentuk pengorbanan itu  adalah dengan terus berjuang melawan kebatilan. Tentu dengan konsekuensi non-job dan pemutasian.  ”Pembunuhan” karakter, pengungkungan kreatifitas, dan semua yang kita anggap berguna bagi ”Porodisa” yang lahir dari diri kita sendiri harus kita korbankan. Kita harus rela dikurung dalam ”penjara humanitas” kepalsuan.  Biarlah kita tidak berkarya karena kita diikat, tetapi kita harus kembali berjalan mundur, mendidik generasi berikut akan manisnya ”sosio-kultur” orang Talaud.  Seperti yang diajarkan oleh mereka (pahlawan sebenarnya) di tahun 50-an orang-orang yang tidak mengenal lelah, dengan kesederhanaan membiayai pendidikan kita.

Ketika orang kecil menerima tamunya yang adalah orang besar, maka ia akan menyediakan tempat milkinya yang paling baik, dengan makanan yang paling istimewa semampunya.  Tetapi ketika orang besar menerima tamu orang kecil, maka ia akan menempatkan pada tempat yang paling kumuh dirumahnya, dengan makanan paling murah.

Sapaan pertama orang kecil adalah ”mari makan”, tetapi sapaan orang besar ”sudah makan?” tentunya orang yang ditanya akan malu jika menjawab ”belum”. 

Bagi bukan orang Talaud, kita orang Talaud adalah orang kecil, yang juga dengan alasan ”sentimen historis” memposisikan orang Talaud pada komunitas kelas tiga (baca Adam dan Hawe).

Seperti kata mereka ”makanya... jangan berseberangan”  jangan ”menentang arus sungai” oke-lah... misalnya saya dan seluruh orang Talaud sepaham dengan penguasa sekarang.  Maka kita akan hidup dalam susana yang tidak lagi saling ”menohok”  karena kita semua mendapat bagian, karena kita semua mendapat jatah, karena kita semua dibuai dengan kemudahan.  Tetapi apakah kemudian itu menjadikan kita tertidur lelap dari tanggung jawab leluhur, menjadikan Talaud sebagai ”porodisa”.  Kemudian apakah kita akan terus menjadi budak dahulu, kini, dan akan datang.  Tragis memang...

PELABUHAN BEO; Sebuah Impian

Pelabuhan Beo tahun 2000. 

Beo at the 2000

Panen cengkeh mendatangkan berkah bagi masyarakat Beo. namun sayang harga yang tidak menentu tidak dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Beo secara signifikan.

TAMAWIWY DYNASTYS; communication between me and Mr. Tick

Dear Sir;

Thank you.Please,read my reply under.Thank you.

On 25-10-11 04:37, mantungg star wrote:
Dear. Mr. Tick
Thank you for pedigree of Tamamawiwys Dynasty sent by you.  I found many interesting information facing Rajas Beo.  Besides that information was interesting to me, that where useful to my career as a village chief of Beo.
I was formulating the Beos birthday since last year.  I found beneficial information from you. 
regarding all information from you, i have conclusion that the 17-3-1916 was the birthday of Beo.  the motive is that the 17-3-1916 was the date contract with Holland signed by council and then where detrermined Julius Sario Tamawiwy as Jogugu Beo. And when the tax controled by the resident of Manado. BEO ALREADY THEN EXISTED AS AN AREA RLED BY THE TAMAWIWY FOR 7 GENERATIONS AND IN 1912 HE WAS ALREADY PRESIDEN JOGUGU OF BEO.I RECEIVED PICURES OF  IS PREDECESSORS,WHO RULED AS PJ OF BEO BEFORE This conclusion is my opinion ( 6 pemangku adat in Beo MAYBE THEY ARE THE CHIEFS OF THE FORMER JOGUGU'S UNDER THE SEMI PARAMOUNT PRMES INTER PARIS PRESIDEN JOGU RULE OF BEO?THEY WANT TO RECOGNIZE SOMEONE FROM THE TAMAWIWY DYNASY AS A SOR OF SYMBOL OF THE KERAJAAN?YES,LATER THE BINILANG DELIVERED ONE RAJA AND A WEDANA.have same duty with me to look for the historical data of Beo)   wich will bring to "Adat Beo- Seminar"  and then validate on "Beo People Party/Marangkattu tonna" (planing Januari 2012) sanger called "Turude"TELL MEMORE ABOUT IT LATE;PLEASE.
I hope your suggestion to me to make the good decision.VERY GOOD.I WAS HOPING,THAT EVER TALAUD WOULD RELOOK ON THEIR HISTORY.

I had been concerning about the Tamawiwy clans where stay in Beo.  Them where not have own local post.  because them can't proof them honor with the good reason.  "Julen Udang" was determined by local adat confrence.  He hold position as "Ratu nTampa" (Jogugu) Beo since  2010 until now (although hard discussion was happen).
at present in Beo still hold on the "Adat". "Adat" is one of decision maker beside government and churh.  Government are the most important from ather. VERY GOOD

comment about Edy Tamawiwy ( Son of Reiner Tamawiwy) ambition to revive the raja matters and rebuilt the palace of the rajas of Talaud.  I had been governing as a village chief of Beo when Edy Tamawiwy came (Juni 2009). He told me about his ambition, but he die before successing his ambition.

comment about the palace of raja. in present the palace is broken and build new house. the land where palace located still under the contract of agreement between Reiner Tamawiwy and Soleman Lalintia (still life and stay it until now). Edy Tamawiwy Son named Rein and Edgar was complain to Soleman Lalintia but he have the evidence of that agreement wrote (hand-writing) by Reiner Tamawiwy himself (signed Reiner Tamawiwy and Soleman Lalintia).  Edy Tamawiwy Sons came to me as a local government to dispute that agreement. by the local discussion sistem caled "su ire su waida",  accordiing to 1 Juli 2009 in my office  Edy Tamawiwy sons (Rein and Edgar) was agree to permit Soleman Lalitia stey in the rajas land until November 2011, response to Soleman Lalintia merit who preserve that raja land.
so, as one of the Tamawiwy Family, i have responsibility to publish that history.

i will send you the fotos of Tamawiwy Dynasty gravestone later. There where lokated my nenek moyang gravestone (N.Latjandu).

Salam hormat
Frets Latjandu, Beo
I AM VERY HAPPY TO READ YOUR INFO.I SALL SEND YOU LATER ALL THE INFO ABOUT TALAUD AND ALL OLD PICTURES I HAVE LATER.GIVE ME YOUR ADRESS ,PLEASE.
I WAS DREAMING OF IT BEFORE,THAT THE TALAUD PEOPLE ALSO WOULD RETHINK ABOUT THEIR PAST,BUT GRANSON RAJA MS TAMAWIWY ;PAK PASIAK IN HOLLAND,SAID ,ALL IMPORTANT TAMAWIWY OUTSIDE ALAUD NOW AND NOT REALLY A NEED FOR RAJA THINKING ANYMOE.
I THINK,THAT THE PRESENT JOGUGU IS ONLY FOR BEO AREA AND NOT A BEGIN OF RAJA NOMINAL CLAIM FOR TALAUD TOTAL.I HAVE A GOOD FRIEND CALLED RAJA MUDA JOHN SUOTH.HE IS THE CHIEF OF THE RAJA DYNASTY OF SIAU.HE WAS THE LAST TIME AT THE NATIONAL MEETING OF INDONESIA DYNASTIES/SILATNAS II,IN BANDUNG.MAYBE THE TAMAWIWY ROYALS ALSO WANT TO ATTEND SUCH MEETING AS THE ROYALS OF BEO/TALAUD.I THINK HE CAN HELP YOU FOR THAT.

THE PRESENT JOGUGU OF BEO IS RECOGNIZED,OR STILL SOME NOT RECOGNIZE THIS MAN. MORE INFO ABOUT HIM VERY WELCOME.
I VERY MUCH RESPECT PAK SWENCY PASIAK;CUCU LAST TAMAWIWY RAJA OF TALAUD.SO THAT IS ALSO A GOOD REASON TO HELP YOU.

THANK YOU FOR ALL.

SALAM HORMAT:
DP TICK

“ADAM DAN HAWE” Perspektif Kebangkitan Lokal


Tahun 1952 Bung Karno dan Bung Tomo datang di Talaud membawa semangat NKRI.  Semenjak itu orang Talaud “sadar”  bahwa Talaud adalah wilayah NKRI.  “Sadar”  artinya “sudahlah ndak usah repot-repot membentuk Negara sendiri”, kan ada NKRI?.  Pada tahun itu juga Talaud resmi menjadi bagian wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud.

Sudah menjadi rahasia umum, semenjak saat itu proses kemiskinan, pembodohan dan marjinalisasi merambat menutupi kreatifitas berkarya Orang Talaud (Hawe).  Ditutupnya jalur perdagangan ke Pilipina (hasil kopra), memaksa Hawe harus menjual hasil buminya kepada pedagang yang datang dari Sangihe dengan harga murah.  Kurangnya pasokan bahan pangan (1950 – 1970), berakibat  siklus musim di Talaud menjadi tiga musim yaitu musim kemarau, musim penghujan dan musin kelaparan (rutumma).

“Rutumma” adalah musim paceklik yang selalu ada.  Saat musim penghujan, wilayah Talaud bagian Selatan (P. Salibabu dan P. Kabaruan) pangan lokalnya (ubi kayu dan ubi jalar) bertumbuh normal.  Keadaan ini disebabkan struktur tanah kedua pulau ini lebih renggang, sehingga saat musim penghujan air lebih meresap.  Sedangkan wilayah Utara (P. Karakelang bagian utara) struktur tanahnya lebih “liat padat”. Sehingga pada musim penghujan air lebih lambat meresap, mengakibatkan tanaman (umbi-umbian) pangan lokal tidak dapat tumbuh baik (kelebihan air).  Keadaan ini disebut rutumma (bagian utara).  Sedangkan wilayah selatan memiliki cukup pangan.  Keadaan ini memaksa orang Talaud Bagian utara mencari pasokan pangan ke selatan. 
Demikian sebaliknya apabila musim kemarau wilayah selatan mengalami kekeringan yang sangat sehingga pangan lokalnya (umbi-umbian) tidak dapat tumbuh (kekeringan).  Keadaan ini memaksa orang Talaud Wilayah Selatan mencari pasokan pangan di Utara.

Hawe terus menderita, dalam ketidakberdayaannya duduk menatap  luasnya samudra pasifik dengan melagukan “Rembungu Rintulu” (lagu rakyat) di tengah “kekusutan masai” yang melempem.  Hawe berjalan dalam “nafas historis” yang terus memompa udara marginalisasi.  Hawe terpuruk dalam status sosial.  Diremehkan, dikategorikan komunitas kelas tiga.
Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, disetiap lelucon-lelucon konyol yang dibicarakan sebagai bahan tertawaan, Hawe selalu menjadi aktor utama untuk dicemooh.  Kita orang Talaud bahkan “meng-ia-kan” dan merestui seakan itu memang benar orang Talaud.  Kita tidak lagi memandang lelucon yang “menohok” itu sebagai upaya marginalisasi.  Kita secara sadar mengakui bahwa kita  memang Hawe yang diciptakan bersama “Adam” (suami Inul Daratista) sebagai  manusia “pertama”. 

Saya tidak tahu sumber atau arti lelucon itu.  Mungkin ia (penggagas) bermaksud mengangkat status Hawe, bahwa semua orang di dunia ini keturunan orang Talaud.  Dan lebih pada deskripsi bahwa  Hawe sangat dekat dengan penciptanya.  Dan masih banyak lagi lelucon konyol yang intinya menyudutkan status sosial orang Talaud, yang justru sekarang dalam kerinduan yang melayang lunglai berjalan tergonta-gonta mencari jati diri.

Babak-babak sejarah membentuk penilaian terhadap Hawe.  Fakta historis juga mendukung status Hawe ditengah pergaulan komunitas lain.  Primordialisme budaya menjadi alasan mengapa Hawe tergolong komunitas kelas tiga. 

Dengan terangkatnya Hawe sejajar dengan “Adam” membangkitkan semangat untuk memulai babak baru dalam sejarah orang Talaud.  Babak baru yang dapat saya katakan sebagai “kebangkitan lokal”.  Babak baru untuk memperjelas jati diri orang Talaud yang sebelumnya masih samar.
Pendidikan…! Adalah kata yang sangat tepat yang diucapkan Hawe saat itu untuk menjadi langkah awal.  Sebuah gagasan solusi untuk memberhangus ketertinggalan.  Jurus pendidikan yang digagas Hawe adalah buah pikiran yang bernilai startegik, yang hanya ada pada Hawe ketimbang temanya Ung….dan bahkan Tol…. Yang dengan arogansi status sosial historical terus “menohok” Hawe.

Tahun 1960, Hawe eksodus besar-besaran ke Manado dan Tahuna, mencari “teteduhan” dengan menjadi pekerja kebun, pekerja toko, pembantu rumah tangga, buruh bangunan dan pekerjaa-pekerjaan halal lain untuk membiayai Hawe kecil yang sedang “menganyam” pendidikan sebagai alas kehidupan sekaligus mengangkat status Hawe ditengah pergaulan sosialnya. 

Dengan semangat fisik yang bersumber dari karbohidrat ubi kayu dan bĂȘte Talaud sang pahlawan menyekolahkan Hawe kecil di IKIP, UNSRAT, sekolah kejuruan SPG, SGO, PGA, STM, Pelayaran, Kepolisian, Militer, pokoknya semasih ada lembaga pendidikan yang mau menerima siswanya yang hanya memiliki satu pasang pakaian plus sandal jepit (merek Lily) dan sebuah Alkitab terbungkus dalam “Bantal” (istilah untuk koper persegi yang terbuat dari kayu).

Keadaan ini menambah banyak lahirnya lelucon konyol tentang Hawe.  Dengan senyum lugu –yang menyembunyikan optimisme dan semangat- Hawe terus berjalan dalam kewajaran sebagai pelajar yang serba terbatas.  Menyembunyikan optimisme saya maksud bahwa nilai strategik akurat adalah dengan menyembunyikan jurus jitu “jangan ditiru”.  Biarlah mereka lapuk dengan kebanggaan semu.

Lugu, pekerja keras, jujur, loyal dan menerima apa adanya menjadikan karakter pelajar orang Talaud disukai banyak orang.  Mengabdi (bekerja) pada pimpinan lembaga adalah salah satu jurus jitu yang menurut sebagian orang  adalah hina.  Adalah picik memandang pengabdian sebuah pekerjaan hina. 

Pada setiap kelas belajar, hawe selalu menjadi objek skeptic. Sinisme akan keterbatasan sarana prasarana, sindiran akan penampilan yang “terlalu kuno”, bahkan terkadang dengan sengaja memberikan batasan-batasan pergaulan.  Intinya dalam setiap kehidupan sosialnya disetiap pergaulan hawe selalu dimarginalkan.

Perbandingan yang sangat mencolok terlihat pada ransum yang selalu dinanti-nantikan setiap pelajar.  Hawe hanya memiliki lemari tanah (kolong bale-bale).  Makanan  (umbi-umbian) yang dikirim disimpan di dalam tanah (kolong bale-bale) agar tahan lama.  Sedangkan Ungke dan Aso memiliki dua lemari makan yang penuh dengan makanan bergisi.

Tetapi dengan keterbatasan itu justru memacu semangat setiap hawe untuk meraih masa depan yang sudah dipercayakan orang tua di pundaknya.  Pagi sekolah, soreh bekerja menjadi gambaran keseharian hawe di tanah rantau.  Sambil menantikan ransum (ubi kayu dan bĂȘte Talaud) yang dikirim orang tua dari kampung (tiga bulan sekali).

Waktu terus berjalan seiring dengan semakin banyaknya Hawe yang bagaikan teori domino melahirkan patriot-patriot pembangunan Talaud.  Tanggal 2 Juli Tahun 2002 adalah buah dari perjuangan itu semua.  Buah yang ranum (masak pohon). Melalui pergulatan yang serba kopleks lahir pemimpin-pemimpin yang walaupun mampu terus dihalau oleh status sosial historisnya.  Mungkin belum saatnya Hawe berkarya diluar.  Berkaryalah dulu di Bumi Porodisa yang selalu menanti karya-karyamu.
Sebentar…! Dimanakah Adam sekarang?, maaf “Adam” sekarang Hawe banyak pekerjaan.  Terima kasih engkau telah mengangkat moral Hawe.  Kiranya engkau tidak sendirian.  Kan ada Inul…!?.

Monday, October 24, 2011

HAWE DAN WOLLA


Seperti Sangihe memiliki Ungke dan Momo, Siau ada Aso dan Ndio, Minahasa punya Tole dan Keke begitu juga Talaud punya Hawe dan Wolla.  Orang luar (makna sindiran) memparodikan manusia mula-mula adalah Adam dan Hawe.
Upaya laten membuat klas-klas dalam stratifikasi antar wilayah memposisikan komunitas Talaud pada klas yang paling bawah.  Tidak bisa dipungkiri.  Ini lahir dari keberadaan kita sejak kita dikenal orang luar.  Kita (terima atau tidak) adalah orang-orang budak.  Yang dipekerjakan dengan upah rendah.  Ini melembaga walaupun orang-orang Talaud sudah lebih maju sekarang. 
Sangat sulit memang memposisikan diri kita ditengah komunitas yang meremehkan kita.  Tentunya perlu upaya untuk dapat merubah pola pendapat yang melembaga tersebut.
Sejak awal 1900 hubungan transportasi ke luar wilayah Talaud (hanya melalui laut) tidak ada.  Orang Talaud hidup dengan keterasingan.  Kadang-kadang datang pendatang dari luar dengan menggunakan Kapal untuk menampung hasil bumi.  Hawe dan Wolla belum banyak mengenal uang.  Sistem barter masih mendominasi kehidupan ekonomi komunitas Talaud.
Tahun 1952 Talaud secara resmi masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud.  Dibawah koordinasi Pembantu Bupati yang berkedudukan di Beo.  Semenjak saat itu masuklah kapal-kapal PELNI (Perintis) yang melayari perairan Talaud.
Hubungan transportasi ke Sangihe dan Manado, mulai terbuka.  Keinginan untuk merubah nasib dari Hawe dan Wolla mulai termotifasi.  Sentimen klas membuat orang Talaud ingin merubah nasib.  Banyak Hawe dan Wolla yang bagaikan eksodus berlayar mengadu nasib di Sangihe dan Manado.  Tanpa modal, tanpa keterampilan melangkahkan kaki menatap tantangan demi harga diri.
Karakter pekerja yang menempel dalam semangat orang Talaud membuat orang Talaud mudah mendapatkan pekerjaan di sangihe dan manado.  Orang-orang Talaud bekerja diperkebunan-pekerbunan milik orang belanda maupun orang pribumi.  Maka bertambahlah pemahaman terhadap orang Talaud bahwa orang Talaud adalah Budak.

Sampai sekitar tahun 1959 orang Talaud di perantauan tidak lebih dari pekerja kelas bawah.  Setelah itu kesadaran orang talaud akan penindasan harga diri makin menggunung.  Maka eksodus gelombang kedua terjadi pada tahun 1960.  Tujuan kali ini bukan lagi hanya sekedar mencari nafkah.  Melihat kesuksesan para majikan bahwa mereka (majikan) tersebut adalah orang-orang yang berpendidikan, maka munculah keinginan untuk menyekolahkan anak-anak orang Talaud.  Mereka datang ke Sangihe dan Manado, menjadi Tukang, Menjadi Pembantu rumah tangga.  Mereka yang bekerja pada saat itu tidak dapat menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk ditabung, sebab mereka memiliki tabungan yang sangat besar nilai infestasinya, yaitu pendidikan.

Walaupun banyak yang berpendirian untuk merubah kualitas manusia Talaud, tapi masih banyak juga yang tidak sampai berpikir ke situ.  Para pekerja yang masih muda yang masih ingin menikmati kesenangan sesaatnya, menggunakan kesempatan hasil pendapat mereka pada hal-hal yang ”tidak baik”.  Kurangnya pendidikan kebanyakan pemuda yang bekerja di Sangihe dan Manado terus menjerumuskan harga diri mereka.  Ironisnya merek bangga dengan predikat tersebut.  Menjadi peminum alkohol dengan mengandalkan ilmu-ilmu hitam menjadikan mereka lebih pada pencibiran yang mereka tidak sadari. 
Hawe menjadi ikon kebodohan dan kekerasan.  Walaupun Hawe yang lain dengan semangat dan cucuran keringat ingin mengangkat martabat orang Talaud.  Disini saya katakan ”orang Talaud”  karena komunitas Talaud telah mulai menunjukan jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang perlu dihargai.  Komunitas lebih pada kumpulan orang yang masih belum memiliki identitas diri yang lengkap.

Antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1970 mulai bermunculan orang-orang Talaud yang sukses.  Ada dibidang pelayaran, ada dibidang perdagangan, ada sebagai TNI dan POLRI, pada intinya selang waktu tersebut upaya suci dan tulus dari orang-orang Talaud telah melahirkan apa yang diharapkan walaupun belum seberapa. 

Semangat ini menjadi hukum domino.  Saling mendukung, saling menolong, saling memberi semangat menjadi jiwa semangat orang Talaud ”Saat itu”.  Saya katakan saat itu, karena memang itu yang terjadi.  Sekarang jiwa semangat tersebut telah menjadi sebuah jiwa yang telah hilang (jiwa yang hilang = Mati).  Saling menjatuhkan, saling melecehkan, saling mengadu dan saling memfitna menjadi warna kehidupan orang Talaud di jaman orang Talaud telah lebih pintar.

BUDAYA BA’E

Sebelumnya injil masuk Talaud (1779), komunitas Talaud belum mengenal dirinya sendiri.  Sistem budaya yang ada adalah budaya pertanian tradisional.  Belum mengenal tulisan.  Intinya budaya yang ada di komunitas Talaud masih sangat tradisional (kalau tidak dikatakan terbelakang) dibanding dengan Sangihe dan Siau.
Pada tahun 1859 saat Zending (Wilhem Richter 1815-1885) menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Beo, komunitas Talaud mulai diperkenalkan dengan pendidikan.  Melalui Agama komunitas Talaud mulai berkembang. 
Metode yang diterapkan oleh  Zending untuk menyebarkan Agama adalah dengan Pendekatan Ba’e (cerita).  Mengingat pada saat itu komunitas Talaud belum mengenal tulisan (kalaupun ada hanya pada lingkungan yang terbatas).  Sejarah diwariskan lewat Ba’e (cerita).  Ba’e merupakan budaya leluhur orang Talaud semenjak pulau-pulau Talaud dihuni.
Budaya ini terus dipertahankan sampai tahun 1900-san.  Setelah itu -walaupun sudah ada yang mengenal tulisan-  sejarah-sejarah masih di ceritakan (Ba’e) turun-temurun. 
Dampak dari  budaya Ba’e ini adalah terdapatnya perbedaan makna sejarah di setiap sentra budaya di wilayah yang berbeda.  Perbedaan presepsi, perbedaan isi sudah menjadi sebuah momok yang tidak dapat dicari solusinya.  Hal ini tanpa kita sadari akan terus terbawa sampai anak cucu kita.




Berbeda dengan Sangihe dan Siau, serta Tagulandang, semua sejarah tertulis dengan rapi dan sistematis.  Sistem kerajaan dengan budaya seni yang tinggi, melahirkan beragamnya syair dan lirik lagu-lagu daerah.  Lebih jauh lagi kerajaan-kerajaan besar lainnya di Nusantara, sejarahnya tertulis diatas prasasti, di daun lontar, lempengan-lempengan kayu, dan sebagainya.  Artinya karena memang mereka telah memiliki budaya yang maju.  Komunitas Talaud, juga memiliki lagu-lagu tradisional yang dianggap sebagai kekayaan budaya.  Lagu-lagu Talaud lebih pada  sebuah ungkapan perasaan yang di”lagu”kan, yang walaupun maknanya lebih mempunyai arti (tidak dibuat-buat) tetapi dari segi ilmu, lagu-lagu Talaud tidak dilahirkan dari pemahaman Ilmu seni suara maupun sastra.  Lagu-lagu Talaud juga tidak pernah ditulis. Hanya dilagukan turun temurun.  Begitu juga dengan seni tari semua diturunkan lewat Ba’e.

”Slak Bom” (pedigree) yang menurut komunitas Talaud merupakan sebuah dokumentasi (tertulis) sejarah kekerabatan, ada sejak komunitas Talaud mengenal tulisan.  ”Slak Bom” ada sekitar 1900-san sejak wilayah Talaud telah mulai membuka akses komunikasi lewat pejabat-pejabat lokal (Pres. Jog. Julius Sario Tamawiwy 1912).  Sebuah bukti sejarah tertulis dalam sestem budaya Talaud hanyalah ”Slak Bom” yang selalu dipergunakan saat ada upacara perkawinan.  Hal ini dipertahankan karena menurut budaya komunitas Talaud bahwa hubungan kekerabatan dalam perkawinan (makin jauh makin baik) sangat berpengaruh terhadap kualitas keturunan. 

Masih banyak lagi budaya Talaud yang lahir dari sebuah kebiasaan yang melembaga dalam sistem kehidupan sosial, ekonomi komunitas Talaud yang kesemuanya di ”Ba’e” kan.   
Budaya ba’e sangat rentan terhadap distorsi makna dan isi nilai sejarah.  Tapi itu merupakan kebudayaan kita.  Yang dijadikan sebagai ungkapan jati diri komunitas Talaud.
Ba’e juga melahirkan perbedaan, primordialisme wilayah dan primordialisme keturunan. 
Lahir pemahaman yang tidak dapat dibantah oleh pihak lain yang mempunyai pemahaman lain yang menurutnya adalah warisan cerita dari leluhurnya.  Embrio perpecahan bermula dari sini.  Sampai sekarang komunitas Talaud sangat mudah dipecah belah.  Sebagai generasi muda kita waib menjadikan ini sebagai nilai positif dengan menyadari dan memahami arti perbedaan itu sendiri.  Sebab berbeda itu justru menjadikan kita kaya.  Kaya akan pemahaman nilai luhur budaya kita.  Menjadikan kita memilki banyak referensi, dan melatih kita dalam menyikapi perbedaan.