Tahun 1952 Bung Karno dan Bung Tomo datang di Talaud membawa semangat NKRI. Semenjak itu orang Talaud “sadar” bahwa Talaud adalah wilayah NKRI. “Sadar” artinya “sudahlah ndak usah repot-repot membentuk Negara sendiri”, kan ada NKRI?. Pada tahun itu juga Talaud resmi menjadi bagian wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud.
Sudah menjadi rahasia umum, semenjak saat itu proses kemiskinan, pembodohan dan marjinalisasi merambat menutupi kreatifitas berkarya Orang Talaud (Hawe). Ditutupnya jalur perdagangan ke Pilipina (hasil kopra), memaksa Hawe harus menjual hasil buminya kepada pedagang yang datang dari Sangihe dengan harga murah. Kurangnya pasokan bahan pangan (1950 – 1970), berakibat siklus musim di Talaud menjadi tiga musim yaitu musim kemarau, musim penghujan dan musin kelaparan (rutumma).
“Rutumma” adalah musim paceklik yang selalu ada. Saat musim penghujan, wilayah Talaud bagian Selatan (P. Salibabu dan P. Kabaruan) pangan lokalnya (ubi kayu dan ubi jalar) bertumbuh normal. Keadaan ini disebabkan struktur tanah kedua pulau ini lebih renggang, sehingga saat musim penghujan air lebih meresap. Sedangkan wilayah Utara (P. Karakelang bagian utara) struktur tanahnya lebih “liat padat”. Sehingga pada musim penghujan air lebih lambat meresap, mengakibatkan tanaman (umbi-umbian) pangan lokal tidak dapat tumbuh baik (kelebihan air). Keadaan ini disebut rutumma (bagian utara). Sedangkan wilayah selatan memiliki cukup pangan. Keadaan ini memaksa orang Talaud Bagian utara mencari pasokan pangan ke selatan.
Demikian sebaliknya apabila musim kemarau wilayah selatan mengalami kekeringan yang sangat sehingga pangan lokalnya (umbi-umbian) tidak dapat tumbuh (kekeringan). Keadaan ini memaksa orang Talaud Wilayah Selatan mencari pasokan pangan di Utara.
Hawe terus menderita, dalam ketidakberdayaannya duduk menatap luasnya samudra pasifik dengan melagukan “Rembungu Rintulu” (lagu rakyat) di tengah “kekusutan masai” yang melempem. Hawe berjalan dalam “nafas historis” yang terus memompa udara marginalisasi. Hawe terpuruk dalam status sosial. Diremehkan, dikategorikan komunitas kelas tiga.
Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, disetiap lelucon-lelucon konyol yang dibicarakan sebagai bahan tertawaan, Hawe selalu menjadi aktor utama untuk dicemooh. Kita orang Talaud bahkan “meng-ia-kan” dan merestui seakan itu memang benar orang Talaud. Kita tidak lagi memandang lelucon yang “menohok” itu sebagai upaya marginalisasi. Kita secara sadar mengakui bahwa kita memang Hawe yang diciptakan bersama “Adam” (suami Inul Daratista) sebagai manusia “pertama”.
Saya tidak tahu sumber atau arti lelucon itu. Mungkin ia (penggagas) bermaksud mengangkat status Hawe, bahwa semua orang di dunia ini keturunan orang Talaud. Dan lebih pada deskripsi bahwa Hawe sangat dekat dengan penciptanya. Dan masih banyak lagi lelucon konyol yang intinya menyudutkan status sosial orang Talaud, yang justru sekarang dalam kerinduan yang melayang lunglai berjalan tergonta-gonta mencari jati diri.
Babak-babak sejarah membentuk penilaian terhadap Hawe. Fakta historis juga mendukung status Hawe ditengah pergaulan komunitas lain. Primordialisme budaya menjadi alasan mengapa Hawe tergolong komunitas kelas tiga.
Dengan terangkatnya Hawe sejajar dengan “Adam” membangkitkan semangat untuk memulai babak baru dalam sejarah orang Talaud. Babak baru yang dapat saya katakan sebagai “kebangkitan lokal”. Babak baru untuk memperjelas jati diri orang Talaud yang sebelumnya masih samar.
Pendidikan…! Adalah kata yang sangat tepat yang diucapkan Hawe saat itu untuk menjadi langkah awal. Sebuah gagasan solusi untuk memberhangus ketertinggalan. Jurus pendidikan yang digagas Hawe adalah buah pikiran yang bernilai startegik, yang hanya ada pada Hawe ketimbang temanya Ung….dan bahkan Tol…. Yang dengan arogansi status sosial historical terus “menohok” Hawe.
Tahun 1960, Hawe eksodus besar-besaran ke Manado dan Tahuna, mencari “teteduhan” dengan menjadi pekerja kebun, pekerja toko, pembantu rumah tangga, buruh bangunan dan pekerjaa-pekerjaan halal lain untuk membiayai Hawe kecil yang sedang “menganyam” pendidikan sebagai alas kehidupan sekaligus mengangkat status Hawe ditengah pergaulan sosialnya.
Dengan semangat fisik yang bersumber dari karbohidrat ubi kayu dan bĂȘte Talaud sang pahlawan menyekolahkan Hawe kecil di IKIP, UNSRAT, sekolah kejuruan SPG, SGO, PGA, STM, Pelayaran, Kepolisian, Militer, pokoknya semasih ada lembaga pendidikan yang mau menerima siswanya yang hanya memiliki satu pasang pakaian plus sandal jepit (merek Lily) dan sebuah Alkitab terbungkus dalam “Bantal” (istilah untuk koper persegi yang terbuat dari kayu).
Keadaan ini menambah banyak lahirnya lelucon konyol tentang Hawe. Dengan senyum lugu –yang menyembunyikan optimisme dan semangat- Hawe terus berjalan dalam kewajaran sebagai pelajar yang serba terbatas. Menyembunyikan optimisme saya maksud bahwa nilai strategik akurat adalah dengan menyembunyikan jurus jitu “jangan ditiru”. Biarlah mereka lapuk dengan kebanggaan semu.
Lugu, pekerja keras, jujur, loyal dan menerima apa adanya menjadikan karakter pelajar orang Talaud disukai banyak orang. Mengabdi (bekerja) pada pimpinan lembaga adalah salah satu jurus jitu yang menurut sebagian orang adalah hina. Adalah picik memandang pengabdian sebuah pekerjaan hina.
Pada setiap kelas belajar, hawe selalu menjadi objek skeptic. Sinisme akan keterbatasan sarana prasarana, sindiran akan penampilan yang “terlalu kuno”, bahkan terkadang dengan sengaja memberikan batasan-batasan pergaulan. Intinya dalam setiap kehidupan sosialnya disetiap pergaulan hawe selalu dimarginalkan.
Perbandingan yang sangat mencolok terlihat pada ransum yang selalu dinanti-nantikan setiap pelajar. Hawe hanya memiliki lemari tanah (kolong bale-bale). Makanan (umbi-umbian) yang dikirim disimpan di dalam tanah (kolong bale-bale) agar tahan lama. Sedangkan Ungke dan Aso memiliki dua lemari makan yang penuh dengan makanan bergisi.
Tetapi dengan keterbatasan itu justru memacu semangat setiap hawe untuk meraih masa depan yang sudah dipercayakan orang tua di pundaknya. Pagi sekolah, soreh bekerja menjadi gambaran keseharian hawe di tanah rantau. Sambil menantikan ransum (ubi kayu dan bĂȘte Talaud) yang dikirim orang tua dari kampung (tiga bulan sekali).
Waktu terus berjalan seiring dengan semakin banyaknya Hawe yang bagaikan teori domino melahirkan patriot-patriot pembangunan Talaud. Tanggal 2 Juli Tahun 2002 adalah buah dari perjuangan itu semua. Buah yang ranum (masak pohon). Melalui pergulatan yang serba kopleks lahir pemimpin-pemimpin yang walaupun mampu terus dihalau oleh status sosial historisnya. Mungkin belum saatnya Hawe berkarya diluar. Berkaryalah dulu di Bumi Porodisa yang selalu menanti karya-karyamu.
Sebentar…! Dimanakah Adam sekarang?, maaf “Adam” sekarang Hawe banyak pekerjaan. Terima kasih engkau telah mengangkat moral Hawe. Kiranya engkau tidak sendirian. Kan ada Inul…!?.